Rabu, 12 November 2014

Teori Etika

Teori Deontologi
Istilah deontologi berasal dari bahasa Yunani, deon dan logos. Deon berarti tanggungjawab moral, sesuatu yang mengikat secara moral, benar secara moral, kewajiban, imperatif (penting sekali, tidak boleh tidak), dan keharusan. Logos berarti kajian atau ilmu tentang. Dengan demikian, deontologi adalah kajian tentang alasan-alasan yang mendasari sesuatu atau ilmu tentang kajian konsep tugas duty (kewajiban, tanggungjawab, komiten) dan konsep-konsep yang berkaitan.

Teori deontolgi ini dapat dirumuskan dalam dua hal, dan kedua hal tersebut saling berkaitan, yaitu:
  1. Kebenaran atau kesalahan sebuah perbuatan moral ditentukan, paling tidak sebagiannya, dengan merujuk pada aturan-aturan perilaku formal, bukannya pada konsekuensi atau hasil-hasil dari sebuah tindakan.
  2. Beberapa perbuatan yang sesuai dengan aturan-aturan ini adalah wajib (memaksa, diperintahkan, dan harus) tanpa memandang akibat-akibatnya.

Bagi Immanuel Kant (1724-1804), kemampuan untuk menentukan yang benar (yang diperintahkan) dan salah (yang terlarang) tersebut merupakan bawaan manusia dari lahir”. Dalam formalistic ethics, Immanuel Kant, ketentuan yang mewajibkan atau melarangnya, adalah aturan-aturan etika universal. Pilihan-pilihan (tindakan, perilaku) moral yang benar dapat dilakukan menurut berbagai motif dan standar seperti kebijaksanaan, simpati, kebaikan, kasih sayang, cinta, kehangatan, dan lainnya. Jika saya menginginkan ini, maka saya harus melakukan ini dan itu. Tetapi motif dan standar tertinggi haruslah rasa tanggungjawab, ketundukan tanpa syarat terhadap hukum moral yang universal dan tak pandang bulu.

Sementara itu, William David Ross (1877-1971) menambahkan sebuah nuansa penting dalam teori deontologi, yaitu “kewajiban itu selalu sebgai kewajiban (prima facie (pada pandangan pertama), artinya suatu kewajiban – untuk – sementara, dan hanya berlaku sampai dating kewajiban yang lebih penting lagi yang mengalahkan kewajiban pertama. Dia menyusun daftar kewajiban prima facie,yaitu: 1) kewajiban kesetian, 2) kewajiban ganti rugi, 3) kewajiban terima kasih, 4) kewajiban keadilan, 5) kewajiban berbuat baik, 6) kewajibanmengembangkan diri, 7) kewajiban untuk tidak merugikan. Semua itu merupakan kewajiban, kita herus membuat skala prioritas, mana yang lebih dahulu. 

Teori Teleologi

Istilah teleologi berasal dari bahasa Yunani, telos dan logos. Telos berarti akhir, tujuan, dan keadaan utuh. Logos berarti kajian atau ilmu tentang. Dengan demikian, teleology adalah kajian tentang fenomena yang menampakan keteraturan, desain, tujuan, akhir, cita-cita, tendensi, sasaran, dan arah, serta bagaimana semua itu dicapai dalam sebuah proses perkembangan.

Teori teleologi ini menyatakan bahwa: 
  1. Konsekuensi-konsekuensi tentang perbuatan moral menentukan manfaat dan ketepatan perbuatan tersebut. Seseorang mungkin memiliki niat-niat baik, atau mengikuti prinsip-prinsip moral yang tertinggi. Tetapi jika hasil sebuah tindakan itu berbahaya atau jelek, maka dinilai sebagai perbuatan yang salah secara moral atau etika. 
  2. Sebuah etika dimana manfaat moral dari sebuah tindakan dinilai dalam pengertian sejauh mana tindakan tersebut mencapai tujuan atau sasarannya (atau tujuan atau sasaran dari system etika yang diikuti). 
  3. Sebuah etika yang di dalamnya kebenaran atau kesalahan sesuatu tindakan dinilai berdasarkan tujuan akhir yang sesuai dengan keiginan dan baik. Apapun yang dicapai sebagai hasil akhirnya dipadang baik secara moral. Sedangkan apapun yang menghalangi pencapaiannya adalah jelek secara moral. 
1. Hedonisme

Kata hedone, bahasa Yunani, yang berarti kenikmatan, enak, dan menyenangkan. Dengan demikian hedonisme merupakan faham atau teori etika yang lebih mengutamakan kenikmatan, atau yang baik itu apabila dapat memberikan kenikmatan, bahkan tujuan hidup manusia adalah mencari dan mengejar kenikmatan.

Secara nyata para penganjur teori hedonisme menyatakan bahwa yang menjadi tujuan kehidupan adalah kenikmatan. Teori tersebut dinyatakan dalam beberapa hal:
  • Kenikmatan adalah kebaikan tertinggi.
  • Kenikmatan adalah kebaikan intrinsik.
  • Kenikmatan harus dicari.
  • Kebaikan ditentukan oleh kemampuan sejauh mana mampu memberikan kenikmatan.
Ide awal hedonisme berawal sejak zaman Aristippus (435-386 SM), salah seorang murid Socrates. Dia percaya bahwa tujuan hidup adalah meraih kenikmatan indrawi setinggi mungkin. Kebaikan yang tertinggi adalah kenikmatan, dan kejahatan tertinggi adalah penderitaan. Dia mengembangkan suatu cara hidup yang tujuannya adalah menghindari penderitaan dalam segala bentuknya. 

Dia mendasarkan etikanya pada pengejaran kenikmatan terdekat yang diperoleh lewat pengontrolan rasio dan kebijaksanaan, serta berusaha untuk menghindari kesengsaraan. Kenikmatan terdekat yang dimaksudkan di sini bersifat badani, aktual, dan individual. Sedangkan pengontrolan ratio dan kebijaksanaan berarti bahwa dalam mengejar nikmat perlu pengendalian diri, tetapi pengendalian diri tidak sama dengan meninggalkan kesenangan. Tugas seorang bijak bukan untuk dikuasai oleh kenikmatan, melainkan untuk menguasai kenikmatan tersebut. Yang terpenting, bagaimana mempergunakan kenikmatan tersebut dengan penuh tanggungjawab, bukannnya membiarkin diri dikuasai oleh nikmat tersebut.

2. Utilitarisme

Kata utilitarisme berasal dari bahasa Latin, utilis, yang berarti kegunaan atau kemanfaatan. Teori ini menyatakan bahwa yang baik itu ditentukan oleh utilitas dalam memberikan kebahagiaan atau kesenangan bagi banyak orang. Dengan demikian suatu bentuk konsekuensialisme, yang berarti bahwa nilai moral suatu tindakan ditentukan oleh hasilnya. Utilitarianisme sering digambarkan oleh ungkapan "terbesar baik untuk jumlah orang terbesar" dan juga dikenal sebagai “prinsip kebahagian terbesar”. Utilitas, yang baik untuk dimaksimalkan, telah didefinisikan oleh berbagai pemikir sebagai kebahagiaan atau kesenangan (versus penderitaan atau rasa sakit), walaupun preferensi utilitarianisme mendefinisikannya sebagai kepuasan preferensi. Ini mungkin digambarkan sebagai sikap hidup, dengan kebahagiaan atau kesenangan keberadaan teramat penting. 

Secara garis besar teori ini dapat dirumuskan sebagai berkut:

  • Kita harus mencapai kesenangan (kebahagian) terbesar untuk orang terbanyak.
  • Kenikmatan merupakan satu-satunya kebaikan intrinsik dan penderitaan satu-satunya kejahatan intrinsik.
  • Sebuah tindakan secara moral baik apabila memberikan keseimbangan dan menghasilkan kebaikan sebanyak-banyaknya bagi dunia.
  • Kebaikan dan kejahatan dilihat juga konsekuensi-konsekkuensinya. 
Teori ini berasal dari seorang filsosof Inggris, Jeremy Bentham (1748-1832), utlitarisme awalnya dimaksudkan sebagai dasar etis untuk memperbaharui hukum Inggris, khususnya hukum pidana. Bentham menjelaskan bahwa kesenangan dan ketidaksenangan merupakan dua nilai intrinsik di dunia; “Alam telah menempatkan manusia di bawah pemerintahan dua penguasa yang berdaulat, kesenangan dan kesusahan". Secara kodrati manusia selalu mencari kesenangan dan menghindari kesusahan. Kebahagiaan akan tercapai apabila memiliki kesenangan dan terhindar dari kesusahan. Dia sebenarnya melanjutkan teori hedonisme klasik (Aristippus dan Epicuros).
Dari sini, dia menemukan kekuasaan utilitas, yang baik adalah apapun yang dapat membawa kebahagiaan bagi orang sebanyak mungkin. Dan yang buruk adalah apapun yang dapat membawa kesusahan bagi orang sebanyak mungkin. Pandangan Bentham tersebut merupakan peralihan dari hedonisme klasik yang bersifat individualis dan egoistis menuju hedonisme universalis. Bentham menekankan bahwa moralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya bagi seluruh umat manusia. Secara singkat the principle of utility adalah: “the greatest happiness of the gretest number”, “kebahagiaan terbesar bagi orang banyak”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.