Teori Deontologi
Istilah deontologi berasal dari bahasa Yunani, deon dan logos. Deon berarti
tanggungjawab moral, sesuatu yang mengikat secara moral, benar secara moral,
kewajiban, imperatif (penting sekali, tidak boleh tidak), dan keharusan. Logos
berarti kajian atau ilmu tentang. Dengan demikian, deontologi adalah kajian
tentang alasan-alasan yang mendasari sesuatu atau ilmu tentang kajian konsep
tugas duty (kewajiban, tanggungjawab, komiten) dan konsep-konsep yang
berkaitan.
- Kebenaran atau kesalahan sebuah perbuatan moral ditentukan, paling tidak sebagiannya, dengan merujuk pada aturan-aturan perilaku formal, bukannya pada konsekuensi atau hasil-hasil dari sebuah tindakan.
- Beberapa perbuatan yang sesuai dengan aturan-aturan ini adalah wajib (memaksa, diperintahkan, dan harus) tanpa memandang akibat-akibatnya.
Bagi Immanuel Kant (1724-1804), kemampuan untuk menentukan yang benar (yang
diperintahkan) dan salah (yang terlarang) tersebut merupakan bawaan manusia
dari lahir”. Dalam formalistic ethics, Immanuel Kant, ketentuan yang mewajibkan
atau melarangnya, adalah aturan-aturan etika universal. Pilihan-pilihan
(tindakan, perilaku) moral yang benar dapat dilakukan menurut berbagai motif
dan standar seperti kebijaksanaan, simpati, kebaikan, kasih sayang, cinta,
kehangatan, dan lainnya. Jika saya menginginkan ini, maka saya harus melakukan
ini dan itu. Tetapi motif dan standar tertinggi haruslah rasa tanggungjawab,
ketundukan tanpa syarat terhadap hukum moral yang universal dan tak pandang
bulu.
Sementara
itu, William David Ross (1877-1971) menambahkan sebuah nuansa penting dalam
teori deontologi, yaitu “kewajiban itu selalu sebgai kewajiban (prima facie
(pada pandangan pertama), artinya suatu kewajiban – untuk – sementara, dan
hanya berlaku sampai dating kewajiban yang lebih penting lagi yang mengalahkan
kewajiban pertama. Dia menyusun daftar kewajiban prima facie,yaitu: 1)
kewajiban kesetian, 2) kewajiban ganti rugi, 3) kewajiban terima kasih, 4)
kewajiban keadilan, 5) kewajiban berbuat baik, 6) kewajibanmengembangkan diri,
7) kewajiban untuk tidak merugikan. Semua itu merupakan kewajiban, kita herus
membuat skala prioritas, mana yang lebih dahulu.
Teori Teleologi
Istilah
teleologi berasal dari bahasa Yunani, telos dan logos. Telos berarti akhir,
tujuan, dan keadaan utuh. Logos berarti kajian atau ilmu tentang. Dengan
demikian, teleology adalah kajian tentang fenomena yang menampakan keteraturan,
desain, tujuan, akhir, cita-cita, tendensi, sasaran, dan arah, serta bagaimana
semua itu dicapai dalam sebuah proses perkembangan.
Teori teleologi ini menyatakan bahwa:
- Konsekuensi-konsekuensi tentang perbuatan moral menentukan manfaat dan ketepatan perbuatan tersebut. Seseorang mungkin memiliki niat-niat baik, atau mengikuti prinsip-prinsip moral yang tertinggi. Tetapi jika hasil sebuah tindakan itu berbahaya atau jelek, maka dinilai sebagai perbuatan yang salah secara moral atau etika.
- Sebuah etika dimana manfaat moral dari sebuah tindakan dinilai dalam pengertian sejauh mana tindakan tersebut mencapai tujuan atau sasarannya (atau tujuan atau sasaran dari system etika yang diikuti).
- Sebuah etika yang di dalamnya kebenaran atau kesalahan sesuatu tindakan dinilai berdasarkan tujuan akhir yang sesuai dengan keiginan dan baik. Apapun yang dicapai sebagai hasil akhirnya dipadang baik secara moral. Sedangkan apapun yang menghalangi pencapaiannya adalah jelek secara moral.
1.
Hedonisme
Kata hedone, bahasa Yunani, yang berarti kenikmatan, enak, dan menyenangkan.
Dengan demikian hedonisme merupakan faham atau teori etika yang lebih
mengutamakan kenikmatan, atau yang baik itu apabila dapat memberikan kenikmatan,
bahkan tujuan hidup manusia adalah mencari dan mengejar kenikmatan.
Secara nyata para penganjur teori hedonisme menyatakan bahwa yang menjadi
tujuan kehidupan adalah kenikmatan. Teori tersebut dinyatakan dalam beberapa
hal:
- Kenikmatan adalah kebaikan tertinggi.
- Kenikmatan adalah kebaikan intrinsik.
- Kenikmatan harus dicari.
- Kebaikan ditentukan oleh kemampuan sejauh mana mampu memberikan kenikmatan.
Dia mendasarkan etikanya pada pengejaran kenikmatan terdekat yang diperoleh lewat pengontrolan rasio dan kebijaksanaan, serta berusaha untuk menghindari kesengsaraan. Kenikmatan terdekat yang dimaksudkan di sini bersifat badani, aktual, dan individual. Sedangkan pengontrolan ratio dan kebijaksanaan berarti bahwa dalam mengejar nikmat perlu pengendalian diri, tetapi pengendalian diri tidak sama dengan meninggalkan kesenangan. Tugas seorang bijak bukan untuk dikuasai oleh kenikmatan, melainkan untuk menguasai kenikmatan tersebut. Yang terpenting, bagaimana mempergunakan kenikmatan tersebut dengan penuh tanggungjawab, bukannnya membiarkin diri dikuasai oleh nikmat tersebut.
2.
Utilitarisme
Kata utilitarisme berasal dari bahasa Latin, utilis, yang berarti kegunaan atau kemanfaatan. Teori ini menyatakan bahwa yang baik itu ditentukan oleh utilitas dalam memberikan kebahagiaan atau kesenangan bagi banyak orang. Dengan demikian suatu bentuk konsekuensialisme, yang berarti bahwa nilai moral suatu tindakan ditentukan oleh hasilnya. Utilitarianisme sering digambarkan oleh ungkapan "terbesar baik untuk jumlah orang terbesar" dan juga dikenal sebagai “prinsip kebahagian terbesar”. Utilitas, yang baik untuk dimaksimalkan, telah didefinisikan oleh berbagai pemikir sebagai kebahagiaan atau kesenangan (versus penderitaan atau rasa sakit), walaupun preferensi utilitarianisme mendefinisikannya sebagai kepuasan preferensi. Ini mungkin digambarkan sebagai sikap hidup, dengan kebahagiaan atau kesenangan keberadaan teramat penting.
Secara garis besar teori ini dapat dirumuskan sebagai berkut:
- Kita harus mencapai kesenangan (kebahagian) terbesar untuk orang terbanyak.
- Kenikmatan merupakan satu-satunya kebaikan intrinsik dan penderitaan satu-satunya kejahatan intrinsik.
- Sebuah tindakan secara moral baik apabila memberikan keseimbangan dan menghasilkan kebaikan sebanyak-banyaknya bagi dunia.
- Kebaikan dan kejahatan dilihat juga konsekuensi-konsekkuensinya.
Dari sini, dia menemukan kekuasaan utilitas, yang baik adalah apapun yang dapat membawa kebahagiaan bagi orang sebanyak mungkin. Dan yang buruk adalah apapun yang dapat membawa kesusahan bagi orang sebanyak mungkin. Pandangan Bentham tersebut merupakan peralihan dari hedonisme klasik yang bersifat individualis dan egoistis menuju hedonisme universalis. Bentham menekankan bahwa moralitas suatu tindakan harus ditentukan dengan menimbang kegunaannya bagi seluruh umat manusia. Secara singkat the principle of utility adalah: “the greatest happiness of the gretest number”, “kebahagiaan terbesar bagi orang banyak”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar